22 November 2010

BELAJAR BERSAMA MERAPI

Sejak tanggal 26 Oktober 2010 yang lalu kehidupan di kota kami, Yogyakarta, tak senyaman hari-hari sebelumnya. Ini disebabkan Merapi, gunung yang berada disisi utara sana menunjukkan keaktifannya jauh di atas rata-rata. Muntah-muntah diseling batuk tiada henti selama berhari-hari ( kayak anak-anak yang lagi flu ya...), sambil tak lupa mengeluarkan isi perutnya disemburkan kemana-mana. Perut Merapi yang begitu besar, tentu besar pula kapasitasnya, sehingga yang kebagian semburan itu tak hanya kami orang Yogya, Sleman khususnya, tapi seluruh kawasan di seputaran di dua provinsi, DIY dan Jawa Tengah. Bahkan, konon kabarnya sampai nun jauh di Bogor sana. Hebat memang, Merapi kita ini.... Sehingga sampai beberapa hari yang lalu langit di atas Yogya terasa dinaungi nuansa yang aneh.
Pagi panas menyengat dengan warna sedikit kekuningan karena penuh abu vulkanik, siang hujan deras bercampur debu. Debu beterbangan tak tentu arah, melapisi segala permukaan tanpa pilih-pilih. Mobil butut, mobil bermerek keluaran tahun ini, sepeda motor segala tipe, genteng berglasur apapun warnanya, daun pisang nan lebar, helai-helai rumput yang tumbuh di pinggiran jalan, baju modis remaja yang tampil beraneka rupa, maupun jemuran yang baru saja dibentangkan dengan tetes air yang belum juga tiris. Semua menjadi berwarna nyaris sama. Tertempel debu coklat kekuningan.

Dengan semburan material dari perut Merapi yang dahsyat itu,  banyak sekali pelajaran baru yang bisa saya peroleh. Letusan explosif, wedhus gembel nan indah tapi beraroma kematian, turun bergulung dipunggung gunung, banjir lahar dingin, debu volkanik yang menurut tuturan para ahli mengandung unsur SiO2 alias silika yang kalau dilihat pakai mikroskop terlihat ujungnya runcing yang  sangat berbahaya bagi kesehatan. Juga dari tuturan para cerdik pandai dikatakan bahwa suhu material muntahan gunung Merapi itu ketika keluar bersuhu 1200 derajat Celsius, sehingga tak heran ketika uap panas yang terbawa sanggup menghanguskan apapun yang dilaluinya,tanpa kecuali.Juga kecepatan luncuran sang awan panas yang mendekati 100 km/jam. Sungguh itu tak terbayangkan oleh saya sebelumnya.
Dari tragedi yang memilukan itu kulihat hal yang sangat baik tumbuh di lingkungan saya, yaitu munculnya empati atas nasib yang dialami oleh para korban, sehingga mengharuskan mereka  mengungsi meninggalkan kediaman  beserta segala harta bendanya. Tanpa banyak berfikir banyak pribadi menyisihkan sebagian hartanya untuk sedikit meringankan beban hidup para pengungsi. Yang lebih mengharukan sekaligus membanggakan adalah semangat belajar siswa-siswa saya. Meski harus diawali dengan kerja bakti membersihkan kelas terlebih dahulu, pelajaran tetap bisa berjalan, walau ketika saya mesti mengabsen, kadang kuterima jawaban si Anu tak hadir karena mengungsi ! Dan sungguh membuat hati ini tak henti bersyukur, ketika Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum, menceritakan telah menerima telepon dari salah satu siswa yang berada dipengungsian. Siswa tersebut menanyakan, apakah diijinkan bersekolah tanpa berseragam, bahkan hanya mengenakan kaos, karena memang ketika berangkat mengungsi tak sempat memikirkan masalah pakaian seragam.....
Aaahhhh....ternyata yang mengiring letusan Merapi tak hanya tragedi tapi juga ilmu dan kepekaan hati......

No comments:

Post a Comment