22 November 2010

YANG TERLEWATKAN DENGAN MERAPI


Hampir satu bulan sejak hari pertama Merapi memuntahkan isi perutnya. Pagi ini dilaksanakan  upacara bendera rutin setiap hari Senin di sekolah . Ketika upacara tadi saya berdiri berjajar dengan salah satu guru ,  sebut saja namanya Ibu Inayati (semoga saya tidak keliru, beliau guru baru jadi saya belum  begitu hafal namanya....) yang kebetulan menjadi seorang relawan, yang menurut penuturannya banyak menyalurkan bantuan dari para donatur ke korban Merapi, khususnya kepada mereka yang tidak mengungsi di tempat-tempat yang tidak dikoordinir oleh pemerintah.

Beliau berdomisili di Yogyakarta, tetapi beliau sangat mengerti bahwa yang menjadi korban bukan hanya warga Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi warga kota Muntilan nun jauh di ujung kota, mepet dengan Merapi, yang jelas masuk dalam zona bahaya, tetapi merupakan bagian wilayah provinsi Jawa Tengah, juga menjadi korban. Bahkan mereka banyak yang tak tersentuh oleh relawan, karena mereka tak terekspos oleh media. Sampai lebih dari satu minggu listrik tak menyala, akses jalan untuk mencapainya juga tak mudah dilalui, karena jalan yang semula ada sudah rusak porak poranda. Sehingga ketika akhir pekan yang lalu ada teman beliau yang menjadi relawan tak resmi mengabari untuk memohon bantuan, dengan swakarsa teman saya itu kesana kemari, mengunjungi posko demi posko. Setelah melewati jam 20.00 baru terkumpul sejumlah bahan logistik. Dan tanpa membuang waktu beliau mengantar langsung bantuan yang dipercayakan kepadanya. Beliau sampai di tempat pengungsian nun di desa Srumbung sana menjelang jam 22.00 setelah melewati jalan baru yang sempit dan licin karena material Merapi tersiram hujan menjadi liat bak lumpur di sawah itu.
Ketika saya tanyakan kembali, bagaimana dengan wujud bantuan-bantuan itu ? Sudah sesuaikah dengan yang dibutuhkan ? Bagaimana cara pendistribusiannya ? Adakah hal-hal lain yang perlu disediakan ? Ooooughh.... betapa saya mesti bersyukur atas segala kemudahan yang masih bisa saya nikmati, setelah saya mendengar cerita beliau. Beliau bercerita, ada juga aparat pemerintah yang datang kesana, tetapi ternyata hanya mendata. Beliau menceritakan teknik pengelolaan donasi yang beliau mesti salurkan. Jika donasi yang beliau terima berupa uang tunai, beliau belanjakan bahan-bahan pokok. Misalkan beras, setelah dibeli beliau kemas menjadi kemasan dengan kemasan kecil, misal 2 kiloan, minyak goreng beliau plastiki satu gelasan. Gula merah, bawang putih, bawang merah, kecap, ikan asin, pun juga perlengkapan mandi dan cuci beliau kemasi bersama teman-teman beliau menjadi kemasan kecil, untuk selanjutnya beliau distribusikan kepada para pengungsi, yang hanya akan menerima sesuai dengan yang dibutuhkan. Tetapi ketika beliau menerima bantuan berupa bahan panganpun, misalkan mie instan, juga akan tetap diterima dan disalurkan kepada yang berhak dan memerlukannya.
Ada satu cerita yang menarik dan mengharukan yang disampaikan.  Bahwa, saat ini beliau menjadi ibu angkat sepasang bayi kembar yang tempat tinggalnya hanya setengah kilometer dari kediaman mbah Maridjan almarhum. Bayi-bayi tersebut bersama orang tuanya alhamdulillah selamat dari bahaya. Mereka terlahir dengan jenis kelamin perempuan, alias berkromosom XX. tetapi mereka memiliki kelainan genetik, ternyata produk hormon testosteron keduanya melebihi semestinya. Dan juga (maaf....) alat vital yang mereka milikipun menunjukkan ada dua macam, laki-laki dan perempuan ! Masyaallah.... Hal ini oleh kalangan kedokteran dapat dilakukan perbaikan melalui proses operasi, yang baru dapat dilaksanakan setelah mereka cukup usia, dan pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam masa penyiapan untuk tindakan operasi itu, kedua bocah kecil yang belum lagi genap setahun usianya mesti mengkonsumsi obat-obatan untuk pengendalian produksi hormon ditubuhnya dengan, sekali lagi, biaya yang sulit dipenuhi oleh kedua orangtuanya. Satu setengah juta setiap kali. Sungguh angka yang fantastis untuk terpenuhi oleh petani sederhana yang bukan tuan tanah....
Kesana kemari teman saya itu membawa masalah anak angkatnya itu untuk mendapat bantuan dari siapa saja, bahkan kepad sahabatnya yang di Belanda sana. Pun ketika beliau bercerita kepada saya, tanpa ada maksud apapun selain untuk meringankan derita sesama, beliau meminta saya, jika ada dana rutin bulanan dari saya, meski sekedar lima puluh ribu, beliau bersedia menyalurkannya....
Seperti biasa, selesai upacara kami berkumpul bersama menerima briefing singkat dan beberapa info penting dari sekolah. Setelah itu selesai, kami para guru bertebaran mengerjakan kewajiban masing-masing. Begitu pula saya. Tanpa buang waktu kaki saya langkahkan ke ruang 36 dan segera proses belajar mengajar berlangsung. Diantara siswa saya di kelas 3TP2 itu terdapat 2 anak yang beberapa hari sempat menjadi pengungsi karena keganasan Merapi. Ada satu diantara mereka yang saya perhatikan menunjukkan kondisi yang tak biasa, dan memberi reaksi yang mengagetkan ketika saya tanya mengapa tak lagi bersemangat untuk belajar? Tak ada senyum. Sangat mudah tersinggung, Sesaat setelah seluruh temannya saya beri tugas untuk diselesaikan, saya ajak dia ke ruang guru. Saya ajak dia berbincang tentang apa yang telah dialaminya, apa yang dirasakannya, apa yang menjadi kekhawatirannya... Baru saya tahu, ada trauma dan ketidaknyamanan fisik yang sebetulnya sedang dirasakan. Untung tadi saya tak menuruti rasa jengkel ketika melihat tak ada minat belajar darinya. Mungkin inilah yang diistilahkan therapy healing oleh kalangan ahli jiwa. Jadi, para korban bencana tak hanya butuh bantuan barang-barang, tetapi pendampingan secara emosi sangat perlu, agar rumah sakit jiwa tak semakin penuh saja.

No comments:

Post a Comment