09 November 2010

KETIKA MERAPI BICARA

Senin, 8 November 2010 - Berangkat kerja dengan niat menjalani aktivitas rutin sebagai seorang  pendidik di Sekolah Menengah Kejuruan di Jogjakarta. Sepanjang perjalanan, sudah terasa suasana yang tak  seperti biasanya. Sepi.... sepi....dan sepi....! Lalu-lintas tak seramai biasanya, karena mahasiswa tak terlihat ikut meramaikan jalanan sebagai hasil kebijakan perguruan-perguruan tinggi  yang meliburkan kegiatan di kampusnya.  Aktivitas pekerja tak nampak menggeliat. Boleh dikata Yogya nyaris seperti suasana libur lebaran saking sepinya.
Sesampai di tempat kerja,  saya berusaha menjalani proses pembelajaran senormal mungkin. Pertama diawali dengan upacara bendera. Selanjutnya, seperti biasanya ada briefing singkat dari pimpinan di ruang pertemuan tentang kondisi-kondisi yang terjadi di lingkungan kerja.  Saat itulah kami semua menjadi memiliki pemahaman yang lebih utuh tentang situasi yang terjadi di lingkungan tempat dimana saya bekerja. Ada sejumlah pengungsi (sekitar 300 jiwa) bernaung di sekolah . Banyak diantaranya anak-anak usia SD, yang ketika saya menanyakan mereka berasal dari desa  mana? Serempak mereka menjawab "Dari desa Sidomulyo Sleman. Sembari dengan kepolosannya mereka mengatakan bahwa tidur di pengungsian tidak enak." Memang untuk kepentingan konsumsi mereka sudah disediakan oleh dinas sosial tetapi hanya berupa nasi dan mie instan tanpa lauk lain, sehingga keadaan ini menjadikan siswa-siswa yang hadir di sekolah ( ada banyak siswa yang tak hadir di sekolah karena mengungsi) tergugah untuk  menjadi relawan dengan menggalang dana di perempatan jalan di dekat sekolah  dan hasilnya dibelikan telur untuk menambah rasa makanan para pengungsi. Hal ini ditegaskan oleh wakil kepala sekolah bidang kesiswaan selaku koordinator lapangan.
Pagi ini beberapa guru tak nampak hadir. Setelah berbincang dengan beberapa teman, barulah saya tahu bahwa banyak kawan-kawan yang tidak hadir karena mengungsi. Dan ternyata, diantara yang hadirpun ada  pula yang sudah beberapa hari ini menjadi pengungsi juga. Bahkan ada seorang ibu guru yang mengungsi di UKS beserta putranya. Diakhir briefing, pimpinan sekolah kembali menggugah empati kami untuk lebih peduli dengan ikut menyisihkan sebagian rezeki untuk meringankan penderitaan masyarakat yang sedang berduka. Satu demi satu tangan terulur ke kardus yang diedarkan. Tak sampai satu jam, terkumpullah dana mendekati satu setengah juta rupiah. Hal yang sama sudah dilakukan beberapa hari yang lalu, bahkan menjangkau kalangan siswa juga. Menurut rencana, hal ini masih akan dilakukan agar terkumpul dana lebih banyak, sehingga bisa membantu lebih banyak orang, termasuk siswa  sendiri.
Dari penuturan beberapa rekan-rekan yang menjadi relawan, banyak diantara pengungsi yang sampai hari ini belum memperoleh bantuan karena tidak semua pengungsi terkumpul di pos-pos pengungsian. Tetapi ada pula sejumlah bantuan yang kurang tepat sasaran, misalkan bantuan pakaian pantas pakai yang dikirimkan oleh donatur yang dikemas dalam kemasan tertutup sampai ditangan pengungsi tak dapat dimanfaatkan dengan baik karena pengungsi disitu perlu sejumlah besar pakaian anak-anak, tetapi bantuan yang sampai sejumlah pakaian dewasa. Hal yang juga luput dari pemikiran para penyumbang adalah bahwa kebutuhan mereka tidak hanya makanan, dan tidak hanya saat ini, dimasa tanggap darurat. Dimasa sesudahnya, dimasa recovery yang mau tidak mau mesti mereka masuki, tetap banyak kebutuhan yang mesti terpenuhi. Dikala Merapi sudah dinyatakan aman dan warga sudah diperkenankan kembali ke tempat tinggalnya, saat itulah masa recovery dimulai. Disaat itu pula mereka menatap realita yang harus dihadapi. Kebanyakan diantara mereka menggantungkan hidupnya pada hasil ladang dan ternaknya, karena mereka memang kebanyakan hidup sebagai petani. Akibat awan panas yang melanda, hancur lebur luluh lantaklah semuanya. Kalau tahun 2006 yang lalu warga Bantul diguncang gempa yang menghancurkan tempat tinggalnya, begitu ada relokasi dan rekonstruksi rumah oleh pemerintah maupun bantuan pihak-pihak swasta dan penanganan trauma, selesai sudah. Sedang warga seputar Merapi yang mendapat hadiah kemurahan Allah melalui muntahan dan batuk gunung Merapi, selain kehilangan tempat tinggalnya, juga kehilangan mata pencahariannya. Sehingga bantuan yang diberikan oleh para donatur sebaiknya diatur lebih baik, sehingga tidak harus semuanya diberikan sekarang, sebagaimana diusulkan oleh salah satu teman saya, ibu Ratna yang menjadi pengungsi juga. Dan jenis barang yang disumbangkanpun bisa lebih beragam. Kebutuhan sekolah anak, bahan makanan , perlengkapan mandi, makanan dan susu bayi, pakaian, termasuk pakaian dalam, bahkan mainan anakpun perlu. Disamping pendampingan psikologis untuk meringankan trauma yang melanda.


Sebagai rasa hormat kepada mereka yang sudah banyak berbuat atau belum dengan saudara-saudaraku  bertempat tinggal di seputar Merapi. Saya akan tuliskan sepenggal surat yang ditulis oleh slah seorang dari mereka.

Saudaraku......
Merapi ini gunungku, kampungku, tumpah darahku. Kelak aku mungkin pergi jauh meninggalkan Merapi. Tetapi Merapi tetap menjadi kampung halamanku. Udara pertama yang kuhirup udara Merapi. Air pertama yang kami minum air Merapi. Makanan pertama yang kumakan tumbuh di Merapi. Tanah pertama yang ku injak tanah Merapi. Sahabat pertama yang kukenal adalah orang Merapi. Aku akan selalu merindukannya, sebab separo jiwaku ada di Merapi.  

Saudaraku.......
Aku...Tak akan pernah marah pada Merapi, Sebab Merapi ini tak bersalah. Merapi tak pernah marah. Merapi ini bergerak, terus bergerak untuk memenuhi takdirnya menjaga keseimbangan bumi. Merapi adalah pasak yang mengutuhkan bumiku.

No comments:

Post a Comment